Sabtu, 05 Desember 2009

Read This..

Siapa Dia?
Oleh Andari Jamalina P.


Kau tahu? Hidup itu teka-teki. Teka-teki yang rumit. Terkadang tak ada jawaban untuk teka-teki itu. Dan hanya menyisakan sebuah misteri. Misteri yang membuat aku bergidik setiap aku mengingatnya.
Tujuh bulan yang lalu ketika suatu siang aku sedang beristirahat di kamarku, HP-ku berbunyi. Tanda sms masuk.
Hai. Ini Andari,ya? Boleh kenalan, gak?
From : 089989xxxx
At : 13.15
Nomor tak dikenal. Siapa, ya? Nomornya tak ada di dalam kontak HPku. Dan, Hei! Dia tahu namaku! Dari mana dia tahu? Segera ku balas smsnya.
“Lo siapa? Tahu dari mana nomor gue?”
Tak lama dia membalas smsku, “Gue Diq. Gue tahu nomor lo dari teman gue. Salam kenal.”
Dari temannya? Siapa? Dan rasanya aku tak pernah kenal dengan yang namanya Diq. Tapi saat kutanya siapa yang memberitahu nomorku padanya, ia mengatakan bahwa ia lupa. Ya sudahlah. Aku tak terlalu memikirkan itu. Dan ku pikir, aku tak perlu membalas smsnya lagi.
Malam harinya ketika aku sedang belajar, orang itu kembali sms. Huh, mengganggu saja! Tak ku balas smsnya. Setengah jam setelah aku belajar, HPku berbunyi lagi. Ok, ok. Akan ku balas sms darimu. Gerutuku dalam hati.
Ternyata, dia cukup asyik untuk diajak smsan. Ia bercerita banyak tentang dirinya. Kutahu ia seorang mahasiswa dari sebuah universitas di Jakarta. Karena itulah aku memanggilnya Kak Diq. Ia mengambil fakultas kedokteran. Cita-citanya ingin menjadi dokter. Sama denganku. Kalau begitu, aku bisa bertanya-tanya padanya. Apa saja yang ia pelajari disana? Mengasyikkan atau bahkan membosankan? Aku berfikir sambil tersenyum.
“Kakak ingin sekali menjadi dokter. Kamu juga, kan? Tapi awas dokter tidak boleh takut denngan darah!” kata Kak Diq di dalam smsnya.
“Haha. Enggak ko, Kak,” kataku singkat.
Hari demi hari aku semakin sering smsan dengan Kak Diq. Kadang kami mengobrol lewat telepon. Suaranya begitu ramah. Meskipun begitu, aku belum bisa menyimpulkan bahwa ia orang baik-baik. Tapi aku juga tidak berfikir kalau ia orang jahat. Aku hanya belum terlalu mengenalnya.
Kadang aku bertanya-tanya sendiri. Apa tujuannya semula untuk berkenalan denganku? Bercerita tentang dirinya. Padahal, ia belum tahu siapa aku. Aku ingin bertanya padanya, tapi ku urungkan niatku. Takut tersinggung. Mungkin, ia memang hanya ingin berteman denganku.
“Ndari, Kakak mau cerita, dong,” kata Kak Diq mengawali smsnya pada Sabtu sore waktu itu. Cerita apa lagi? Tanyaku dalam hati.
“cerita aja, Kak. Mau cerita apa?”
“Kakak lagi sedih. Kakak ingat pacar Kakak,” katanya. Pacar? Oh, dia punya pacar rupanya.
“Emang pacar Kakak kenapa? Ada masalah?” tanyaku.
“Masalah? Tak pernah ada masalah lagi antara Kakak dengan dia, karena Lena, pacar Kakak, sudah tak ada,”
“Sudah tak ada? Apa maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
Lalu Kak Diq bercerita tentang pacarnya. Seorang perempuan sebaya Kak Diq yang kuliah di Bandung, bernama Lena (aku menyebutnya Kak Lena). Kak Diq sangat sayang padanya. Kak Diq mengatakan bahwa Kak Lena sangat ingin melihatnya menjadi seorang dokter.
Dua tahun yang lalu, pada hari ulang tahun Kak Diq, Kak Lena bermaksud hendak berkunjung ke rumahnya untuk memberi sebuah kado. Kak Lena mengendarai mobilnya sendiri dari Bandung. Dan entah bagaimana, Kak Lena mengalami kecelakaan di tengah perjalanannya. Kak Diq sangat terpukul. Di hari yang bahagia itu, ia justru harus menerima kenyataan bahwa Kak Lena sudah pergi meninggalkannya. Kasihan Kak Diq.
“Kakak kesepian. Di sini Kakak sendiri. Orang tua Kakak tinggal jauh dari sini,” katanya. Walaupun hanya lewat sms, tapi aku bias merasakan kesedihan Kak Diq.
“Sabar ya, Kak. Orang sabar kan disayang Allah,” aku mencoba membuatnya tersenyum.
Keesokan harinya, kami smsan seperti biasa. Ternyata, Kak Diq tinggal tak jauh dari komplek perumahanku. Tapi aku tak tahu persis dimana tempatnya. Ia bertanya dimana alamat rumahku, tapi tak kuberitahu. Seperti kataku, aku tidak mudah percaya begitu saja kepada orang yang baru kukenal.
“Ndari, semalam Kakak bermimpi tentang Lena,” kata Kak Diq di salah satu smsnya.
“Sedang apa Kak Lena di dalam mimpi Kakak? Apa yang terjadi?” seperti biasa, aku bertanya, Kaka Diq bercerita.
“Lena berkata bahwa Kakak sebaiknya mencari penggantinya. Dia kasihan melihat Kakak sendiri disini,” Kak Diq menceritakan mimpinya.
“Lalu apa yang akan Kakak lakukan?”
Kak Diq lalu memintaku mambantu mencarikan pacar baru untuknya. Segara saja aku berkata bahwa aku belum tentu bisa melakukannya. Aku tidak mempunyai teman yang sebaya dengan Kak Diq. Yang kutahu, temanku semuanya sebaya denganku. Memang dia mau pacaran dengan anak SMP?
“Ya, enggak apa-apa. Kalau kamu tidak mau mencarikan, kamu aja yang jadi pacar Kakak. Mau enggak?” katanya. Apa? Pacar? Kenal saja belum sebulan.
“Haha. Kakak bercanda, deh. Mana mungkin!” aku mencoba menjawab dengan santai.
Setelah itu, Kak Diq tidak membalas smsku. Sejam, dua jam,tidak ada balasan darinya. Kenapa? Apa perkataanku membuatnya tersinggung? Jangan-jangan, dia marah padaku? Ah, tapi memang tak mungkin.
Seminggu setelahnya, Kak Diq tidak pernah mengirim sms lagi. Aku pun tak pernah mencoba mengirim sms untuknya. Aku tidak terlalu memikirkannya. Biarlah.
Namun, malam harinya Kak Diq meneleponku sekitar jam 10 malam. Hoamm.. terpaksa kubuka mataku yang sudah mengantuk untuk mengangkat telepon darinya.
“Halo,” sapaku dengan malas.
“Halo, Andari. Kakak mengganggu, ya?” tanyanya seakan bisa mengartikan nada suaraku. Ya! Sangat! gerutuku dalam hati.
“Hhm.. enggak ko, Kak,” jawabku singkat.
Kak Diq diam. Sesaat kemudian dia bersuara, “Kayaknya Kakak ganggu, deh. Yaudah, besok aja Kakak telepon lagi. Tidur lagi, gih! Mimpi indah, ya!” kata Kak Diq, lalu segera menutup teleponnya. Huh, bagus deh!
Segera aku kembali merebahkan badanku, memeluk guling, dan….. tertidur pulas.
Esok paginya, Kak Diq benar-benar meneloponku lagi.
“Ndari, kalau kamu punya penyakit parah, apa yang akan kamu lakukan?” Kak Diq bertanya.
“Pastilah berobat,” jawabku.
“Kalau penyakit itu udah enggak bisa diobati bagaimana?”
Aku diam. bagaimana, ya? Aku kan belum pernah mengidap suatu penyakit yang menurutku tidak bisa diobati. Aku hanya pernah mengalami penyakit flu atau pernah sekali aku terkena tifus sehingga mengaharuskanku untuk dirawat di rumah sakit. Dan itu bisa sembuh.
Cukup lama aku diam, Kak Diq bersuara lagi, “Ndari, kamu pasti enggak mau kan membuat kecewa mama dan papamu?” tanyanya.
“Ya enggak lah, Kak. Membuat mereka sedih aja harus mikir-miir dulu,” jawabku.
“Begitu juga Kakak. Kakak enggak mau membuat orang tua Kakak kecewa hanya karena penyakit yang Kakak derita,” katanya dengan suara yang-menurutku-pasti dia sedang sedih lagi.
“Emang Kakak punya penyakit?”
“Udah lama Kakak mengidap penyakit ini. Enggak ada yang tahu selain pacar Kakak. Dan kakak ingin memberitahumu sekarang. Kakak Cuma ingin kamu tahu,” katanya. Ada apa sih, ini? Aku tak mengerti.
“Maksud Kakak? Jangan buat aku pensaran deh, Kak,” kataku dengan tak sabar menunggu jawabannya.
“Kakak mengidap penyakit tumor otak stadium empat, keadaannya udah enggak memungkinkan. Dokter memvonis umur Kakak udah enggak lama lagi,” katanya.
Aku tersentak.
“A-apa? Kakak punya penyakit tumor otak? Dan orang tua Kakak tidak enggak tahu tentang ini?!” aku berbicara dengan terbata-bata.
“Enggak. Mereka enggak tahu. Dan mungkin, enggak akan pernah tahu.”
“Kenapa? Kupikir, mereka bisa mengerti keadaan Kakak,” kataku mencoba meyakinkannya.
“Kakak enggak tahu. Mereka ingin Kakak sukses. Mereka mau Kakak membahagiakan mereka. Dan Kakak pikir, hal ini bisa membuat mereka kecewa,” kata Kak Diq.
Aku bisa mendengar Kak Diq menangis di sana. Tapi sepertinya, ia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Kak..” panggilku.
“Iya. Kenapa?”
“Coba deh, Kakak membicarakn hal ini dengan kedua orang tua Kakak. Aku yakin mereka bisa mengerti,” aku mencoba menghiburnya. Terdengar olehku isak tangis di seberang sana.
“Udah, Kak. Jangan nangis lagi,” kataku.
“Ya. Kakak enggak nangis, ko. Makasih ya, Andari.”
Kutahu Kak Diq berusaha mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Ya. Sama-sama, Kak,” kataku. Dan segera kuakhiri percakapan yang cukup panjang itu dengan alasan HPku ‘low batt’. Padahal sebenarnya tidak. Aku cuma tak tahu lagi apa yang harus kukatakan. Dan aku tak mau lagi mendengar suaranya yang terisak-isak. Bisa-bisa, aku ikut menangis nanti.
Saat di sekolah, aku bercerita tentang Kak Diq dan penyakit yang dideritanya kepada sahabatku, Rani dan Fida. Mereka segera menanggapi.
“Apa benar itu, Ndar? Lo kan belum tahu siapa dia. Mungkin aja dia bohong,” komentar Fida.
“Iya, Ndar. Jangan terlalu percaya. Mungkin orang itu cuma ingin dapat perhatian dari lo,” Rani juga berkomentar.
Masa, sih? Apa Kak Diq berbohong tentang semua itu? Atau mungkin, orang yang aku sebut ‘Kak Diq’ itu hanya orang usil yang ingin menipuku? Tapi… Ah, aku makin bingung!
Ketika aku sedang makan siang sehabis pulang sekolah, HPku berbunyi. Kak Diq. Seperti biasa.
“Ndari, Kakak mau ketemu kamu. Boleh?” ia mengawali smsnya.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Kakak ingin berbicara sesuatu kepadamu. Kamu mau?” tanyanya.
Dia mengajakku untuk bertemu? Berbicara tentang suatu hal? Memangnya tidak bisa lewat sms atau telepon?
Lalu segera aku berkata bahwa seminggu ini aku tak bisa pergi kemana-mana. Tugas sekolahku banyak. Sebenarnya sih, tidak. Aku hanya tidak ingin terelalu percaya omongan orang yang baru kukenal. Apalagi sampai mengajakku ketemuan.
“Yaudah,” katanya.
Tapi esoknya, dia kembali mengajakku. Katanya sih, penting.
“Sekali ini aja. Mau, kan?” tanyanya kesekian kali.
Aduh, bagaimana ini? Sepertinya dia ingin sekali bertemu denganku. Iya atau tidak, ya? Kalau nanti terjadi apa-apa denganku, bagaimana? Tapi aku juga tak enak padanya. Aku bingung. Akhirnya aku memutuskan bahwa aku mau bertemu dengannya.
“Hari Sabtu, di jalan dekat Apotek, ya,” kata Kak Diq.
Aku mengiyakan. Hari sabtu. Hhm.. Berarti empat hari lagi. Huh, menyusahkan saja! Aku kembali menggerutu.
Namun, Allah berkehendak lain. Dua hari sebelum aku bertemu dengannya, Kak Diq meneleponku. Tapi, hei! Itu bukan suara Kak Diq! Memang itu nomornya, tapi siapa dia?
Ia bersuara, “Halo. Ini Andari? Temannya Diq, ya? Atau mungkin pacarnya?”
“Bukan. Aku temannya. Kamu siapa? Mana Kak Diq?” Aku balik bertanya.
“Loh, kamu belum tahu? semalam pukul tujuh Kak Diq menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelumnya Aku tak tahu kalau ia mengidap penyakit tumor otak, begitu juga orang tuaku. Lalu saat kutahu nomor telepon rumah sakit yang selama ini merawatnya, aku segera menghubunginya. Disitulah aku, ayah, dan ibuku tahu,” ia menjelaskan dengan panjang lebar.
Duar!!! Aku kaget bukan main. Apa ini?! Ini Cuma lelucon, kan?! Ini hanya permainan semata?! Aku yang jadi umpannya?! Pertanyaan-pertanyaan itu melayang di pikiranku. Hampir saja HP yang kugenggam jatuh ke lantai kalau orang di seberang sana tidak bersuara.
“Hei! Halo! Halo!” Ia mengagetkanku. Kumatikan teleponnya. Mulutku bisu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tapi tidak dengan tanganku. Segera kubalas smsnya.
“Tapi, dia sudah membuat janji denganku,” kataku. Aku masih tidak percaya.
“Ya, Aku tahu. karena itulah aku mewakili Kakakku untuk meminta maaf padamu,” katanya. Oh, jadi dia adiknya. Mengapa dia sampai tidak tahu kalau kakaknya mengidap penyakit tumor otak? Jahatnya!
“Ya, enggak apa-apa,” aku hanya bias menjawab singkat.
“Oh iya, Aku Agung. Salam kenal,” balasnya lagi. Kupikir, aku tak perlu membalas smsnya. Tak penting bagiku.
Sejak saat itu, tak pernah ada lagi sms dari nomor itu. Saat kucoba menghubunginya, nomor itu sudah terblokir. Tapi masih kusimpan di dalam kontak HPku sampai sekarang. Nomor yang menghasilkan sejuta tanya di dalam pikiranku.
Siapa dia? Apa benar dia Kak Diq? Atau Kak Diq itu hanya bualan orang lain yang usil? Dan aku belum tahu mengapa ia tahu namaku? Dari mana ia mendapat nomor HPku? Dan untuk apa ia menceritakan semua cerita menyeramkan itu padaku? Apakah itu cuma kebohongan semata? Sungguh keterlaluan!
Tapi, tak mugkin! Cerita itu seperti benar-benar nyata. Suara itu, tangisan itu, seperti tidak dibuat-buat. Ah, aku tak mengerti! Tapi kalau memang itu benar, aku hanya bisa berkata, “Tenanglah di sana Kak Diq. Semoga Allah menempatkanmu di sisi-Nya yang mulia.” Amin.
Dan satu lagi, sebuah sms dari Kak Diq dengan kata-katanya yang masih kuingat dan akan selalu kuingat.
“Persahabatan ibarat satu janji yang dibuat dalam hati. Tak dapat ditulis, tak dapat dibaca. Namun takkan terpisah oleh jarak, takkan berubah oleh masa. Sekali kita kenal, selamanya kita kawan.”